SAMARINDA – Civic Engagement Alliance (CEA) mengecam tindak polisi atas para demonstrasi di Jakarta pun di daerah -daerah di Indonesia. Aksi berbagai elemen masyarakat sipil seluruh Indonesia yang berlangsung pada 28 Agustus 2025 menjadi ruang untuk mengekspresikan pendapat atas penyelenggaraan pemerintahan yang jauh dari cita-cita luhur bangsa. Dalam ruang sipil yang aman, warga negara dapat
mengekspresikan pendapat, berkumpul, berorganisasi, dan berpartisipasi dalam kehidupan publik tanpa rasa takut akan tindakan intimidasi, diskriminasi, serta kekerasan. Aksi yang sejatinya merupakan wujud kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi, khususnya
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, serta Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Kondisi yang terjadi justru sebaliknya: aparat kepolisian menggunakan kekerasan berlebihan, intimidasi, dan melakukan tindakan represif yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa serta hilangnya rasa aman. Yang bertolak belakang dengan UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Tindakan tersebut tidak hanya mencederai prinsip demokrasi, tetapi juga menodai komitmen negara dalam memberikan pelindungan ruang sipil yang aman. Suara rakyat adalah suara yang harus Suara rakyat adalah suara yang harus didengar bukan dibungkam dengan kekerasan.
Menyikapi hal tersebut, kami menyatakan:
1. Turut berduka cita kepada Affan Kurniawan yang gugur oleh tindakan brutal aparat
kepolisian pada tanggal 28 Agustus 2025 dan seluruh massa aksi yang mengalami
tindakan represif selama aksi demonstrasi berlangsung di seluruh wilayah Indonesia.
2. Mengecam keras segala bentuk kekerasan dan tindakan brutal yang dilakukan aparat
kepolisian terhadap masyarakat sipil dalam menyuarakan tuntutan rakyat.
3. Mendesak Institusi Kepolisian Republik Indonesia untuk mengusut tuntas kasus
kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepada massa aksi dengan proses yang terbuka
dan menindak tegas aparat yang melakukan pelanggaran, serta memberikan jaminan
pemulihan bagi korban.
4. Mendesak lembaga-lembaga negara (Kompolnas, Komnas HAM dan LPSK) untuk
menjalankan pengawasan sesuai dengan fungsinya terhadap penyelesaian kasus
kekerasan oleh aparat dalam aksi massa 28 Agustus 2025.
5. Menuntut pemerintah untuk menjamin pelindungan ruang sipil dengan memastikan
aparat kepolisian bekerja profesional, humanis, sesuai prinsip negara hukum dalam
mengawal aksi massa. Tidak menghalang-halangi ekspresi berbagai elemen
masyarakat sipil (pelajar, jurnalis, seniman) dalam menyuarakan aspirasinya. Serta
menjamin keterbukaan dan kredibilitas informasi mengenai perkembangan unjuk rasa.
6. Mendesak Presiden untuk segera melakukan reformasi Institusi Kepolisian Republik
Indonesia, serta meninjau ulang revisi UU POLRI dan RKUHAP dengan melibatkan
masyarakat sipil secara bermakna.
7. Mendesak Pemerintah untuk menghentikan program dan kebijakan-kebijakan yang
menciderai rasa keadilan rakyat (PSN yang merusak lingkungan dan merampas ruang
hidup rakyat, kenaikan tunjangan bagi anggota DPR, kenaikan pajak, usulan kenaikan
BPJS, dll.), dan mengalokasikan penggunaan anggaran negara sepenuh-penuhnya
untuk kepentingan rakyat.
8. Mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk bersama-sama memantau
pelindungan ruang sipil dan melakukan aksi-aksi “solidaritas rakyat bantu rakyat”
selama aksi demonstrasi menyuarakan aspirasi berlangsung.
Kami percaya bahwa demokrasi hanya bisa tegak jika hak rakyat dihormati dan dijamin
sepenuhnya. Represi hanya akan melahirkan ketidakpercayaan publik terhadap negara. [*]