ESDM Gugat Balik Rakyat: Transparansi Tambang Jadi Korban

DOK/IST

Samarinda – Koalisi POKJA 30 bersama Fraksi Rakyat Kutim (FRK) menggelar konferensi pers sekaligus diskusi publik dalam rangka Right to Know Day 2025 atau Hari Keterbukaan Informasi Publik Sedunia. Acara ini mengangkat tema “Transparansi Semu Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia”, yang menyoroti masih rendahnya komitmen negara dalam membuka informasi publik, khususnya di sektor ekstraktif.

Hak atas informasi merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Prinsipnya, semua informasi publik pada dasarnya terbuka, kecuali yang secara ketat dan terbatas dikecualikan. Namun, setelah 17 tahun berjalan, praktik keterbukaan masih jauh dari ideal.

Data Resource Governance Index (RGI) 2017 menempatkan Indonesia pada skor 65/100 untuk aspek keterbukaan, sementara validasi Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) 2024 memberikan skor 67, kategori “cukup rendah.” Fakta ini menunjukkan masih lemahnya transparansi tata kelola sektor tambang, meski kontribusinya besar bagi ekonomi nasional.

Kondisi ini tergambar nyata dalam kasus sengketa informasi publik antara warga Kutai Timur dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait dokumen milik PT Kaltim Prima Coal (KPC) produsen batubara terbesar di Indonesia.

Dua aktivis, Erwin Febrian Syuhada dan Junaidi Arifin, mengajukan permohonan informasi sejak 2022 atas dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), serta Rencana Induk Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM). Permintaan ini ditolak ESDM dengan alasan pengecualian.

Melalui proses panjang di Komisi Informasi Pusat (KIP), pada April 2025 diputuskan bahwa dokumen RKAB dan PPM KPC bersifat terbuka, diikuti putusan 30 Juli 2025 yang memenangkan warga untuk mendapatkan dokumen AMDAL. Alih-alih melaksanakan putusan, ESDM justru menggugat balik ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Langkah ini dianggap mencederai semangat keterbukaan informasi dan melemahkan demokrasi.

“Sejak 17 tahun UU KIP berlaku, keterbukaan di sektor tambang masih jalan di tempat. Pemerintah lebih sering bersembunyi di balik dalih pengecualian. Padahal, transparansi adalah hak dasar warga negara,” tegas Buyung Marajo, Koordinator POKJA 30.

Erwin Febrian Syuhada dari FRK menambahkan, “Ini bukan hanya tentang dokumen teknis. AMDAL, RKAB, dan PPM menentukan masa depan lingkungan dan masyarakat Kutai Timur. Menutupnya sama saja menutup hak rakyat untuk hidup sehat dan bermartabat. Gugatan balik ESDM adalah tamparan keras terhadap demokrasi.”

Sementara itu, Junaidi Arifin menyebut sengketa ini sebagai ujian implementasi UU KIP. “Kalau negara saja takut membuka dokumen lingkungan, bagaimana rakyat bisa percaya pada tata kelola pertambangan?” ujarnya.

Tuntutan Koalisi

POKJA 30 dan FRK menyerukan:

  • ESDM patuh pada UU KIP dengan segera melaksanakan putusan KIP tanpa mencari celah hukum.
  • Keterbukaan dokumen tambang sebagai hak publik – terutama AMDAL, RKAB, dan PPM – karena menyangkut keselamatan lingkungan dan kehidupan masyarakat.
  • Pemerintah daerah dan pusat harus memperkuat mekanisme akses informasi dan menghentikan praktik transparansi semu yang hanya menguntungkan korporasi.
  • Masyarakat sipil, akademisi, media, dan komunitas lokal diminta terus mengawal kasus ini sebagai preseden penting keterbukaan informasi di Indonesia.

Right to Know Day 2025 menjadi pengingat bahwa tanpa keterbukaan informasi, demokrasi kehilangan makna. Transparansi bukan sekadar jargon, melainkan fondasi untuk memastikan pertambangan tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga melindungi rakyat dan lingkungan. [*]

Print Friendly, PDF & Email