JAKARTA – Masyarakat dan tokoh adat di Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan, menyerukan kepada pemerintah pusat agar membuka peluang investasi dan memberikan izin bagi berdirinya industri pertambangan di wilayah mereka.
Aspirasi tersebut muncul karena daerah mereka diyakini menyimpan potensi kekayaan alam yang besar, seperti kandungan emas, tembaga, dan mineral lain, yang hingga kini belum dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Dorongan tersebut mendapat dukungan positif dari Asosiasi Pengusaha Pertambangan Rakyat Indonesia (APPRI).
“Saya mendapat banyak sekali masukan dari Kepala Suku Besar yang membawahi 277 kampung atau desa dan 34 kecamatan di sana. Mereka menginginkan kehadiran industri untuk bantu ekonomi masyarakat. Ya, negara harus hadir di sana,” ungkap Ketua Umum APPRI, Rudi Prianto, Jumat (31/10/2025).
Rudi meminta agar pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dapat mempertimbangkan dan mendorong agar ada kajian potensi mineral di wilayah Pegunungan Bintang dan segera menetapkan langkah konkret untuk membuka ruang investasi yang berpihak kepada masyarakat lokal.
“Sebab, kehadiran industri pertambangan dapat menjadi penggerak utama ekonomi daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) seperti Pegunungan Bintang. Jika dikelola dengan baik dan transparan, industri tambang dapat menjadi sumber kemakmuran baru bagi masyarakat, bukan hanya untuk investor tetapi juga untuk rakyat asli Papua,” ujar Rudi.
Rudi menambahkan, keberadaan industri pertambangan di sana, setidaknya dapat membuka lapangan pekerjaan baru, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mendorong pertumbuhan sektor lain seperti perdagangan, transportasi, dan jasa. Selain itu, pendapatan daerah dari sektor tambang juga bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, pendidikan, dan kesehatan yang masih sangat terbatas di banyak distrik.
Lebih jauh, kata Rudi, adanya kontribusi nyata dari perusahaan-perusahaan pertambangan dalam bentuk program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang dapat membantu memperbaiki akses pendidikan, kesehatan, dan fasilitas publik lainnya di daerah tersebut.
Yance, Kepala Suku Besar membawahi 277 kampung atau desa dan 34 kecamatan di Pegunungan Bintang menyatakan bahwa masyarakat adat mendukung penuh bila pemerintah membuka izin pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka.
“Kami tahu tanah kami kaya dengan emas dan tembaga, tetapi masyarakat hidup dalam kesusahan. Harga sembako seperti beras, gula, dan bahan bakar minyak sangat mahal karena semua dikirim lewat udara. Kami ingin ada industri yang bisa membuka lapangan kerja dan membuat hidup kami lebih sejahtera,” ungkapnya.
Menurut data lapangan, harga beras di beberapa distrik di Pegunungan Bintang bisa mencapai Rp 20.000 per kilogram, gula pasir sekitar Rp 40.000 per kilogram, dan bahan bakar minyak bahkan bisa dijual lebih dari Rp 50.000 per liter di daerah terpencil. Kondisi tersebut membuat beban hidup masyarakat sangat berat, sementara akses transportasi dan infrastruktur masih terbatas.
Tokoh masyarakat lainnya menegaskan bahwa kehadiran industri ekstraktif seperti pertambangan bukan untuk kepentingan politik atau kelompok tertentu, melainkan murni untuk kepentingan masyarakat sipil.
“Kami tidak ingin kekayaan alam kami disalahgunakan atau dikaitkan dengan kelompok tertentu. Industri ini harus hadir untuk rakyat, bukan untuk konflik,” tegas dia.
Mereka menilai, jika pemerintah pusat dapat menghadirkan industri pertambangan yang dikelola secara profesional dan transparan, hal ini justru dapat mengurangi potensi konflik dan meningkatkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap negara.
APPRI Minta Aspek Lingkungan Diperhatikan
Ketua Umum APPRI, Rudi Prianto menegaskan dukungan APPRI terhadap aspirasi tersebut dengan catatan kegiatan industri pertambangan harus memperhatikan kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat adat.
Karena bagi APPRI, apa pun yang ditimbulkan dari kegiatan industri tersebut pasti masyarakat lokal yang menerima dampaknya. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah harus siap memfasilitasi komunikasi baik antara masyarakat adat, investor, agar pembangunan berjalan seimbang antara ekonomi dan lingkungan.
“APPRI tidak menginginkankan pertambangan hanya untuk keuntungan semata, tetapi juga sebagai sarana untuk memperbaiki sosial dan ekonomi masyarakat di sana,” tambah Rudi. [*]






