SAMARINDA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan sebanyak 1.215 titik Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) secara nasional dengan luasan 66.593,18 hektar.
Jumlah itu tersebar di 19 provinsi, namun tidak termasuk provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Dari pulau Kalimantan, hanya provinsi Kalimantan Barat yang terakomodasi memiliki 199 WPR dengan luasan 11.848 hektar.
“Kami sesalkan, kenapa Kaltim tak masuk WPR? Padahal, khusus di Kaltim saja, ada banyak sekali lokasi pertambangan yang dikelola secara langsung oleh masyarakat lokal. Itu mestinya masuk kategori dan ditetapkan tambang rakyat,” ungkap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pertambangan Rakyat Indonesia (APPRI), Rudi Prianto kepada Kompas.com di Samarinda, Senin (1/4/2024).
Rudi mengatakan penambangan rakyat di Kaltim tersebar di beberapa kabupaten seperti Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Kutai Timur, juga Kabupaten Berau dan lainnya. Namun, rata-rata komoditas yang ditambang yakni batu bara. Karena komoditas ini tak masuk dalam ruang lingkup kegiatan penambangan rakyat, maka kegiatannya dianggap ilegal.
“Padahal yang nambang itu, ya orang lokal situ, juga para pengusaha lokal yang memiliki keterbatasan modal dan jaringan ke nasional untuk urus IUP (batu bara) yang nilainya miliaran rupiah,” terang Rudi.
Rudi bilang selama ini peran pemerintah hanya fokus melayani penambang besar yang memiliki kemampuan modal besar, mudah mengurus perizinan dengan melobi jejaring pejabat di pusat.
Sementara, pengusaha lokal dengan segala keterbatasannya tak bisa berbuat banyak, hanya jadi penonton karena tak mendapat tempat berusaha di tanahnya sendiri.
Lantas bagaimana batu bara yang dihasilkan dari kegiatan ilegal itu bisa keluar?
Rudi mengatakan justru perusahaan-perusahaan resmi yang meminjamkan dokumen atau surat-surat resmi mengatasnamakan batu bara seolah resmi dari perusahaan tersebut.
“Temuan kami banyak sekali penyalahgunaan dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) di Kaltim untuk kegiatan batu bara ilegal. Batu bara dari hulu, surat dari hilir,” ucap Rudi menganalogikan.
Misal, ada batu bara ilegal yang diangkut dari Kabupaten Kutai Barat tapi menggunakan surat-surat atau dokumen RKAB dari perusahaan yang lokasi kerjanya ada di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Meski begitu, perusahaan – perusahaan yang sengaja meminjamkan dokumen RKAB juga nyaris tak menerima sanksi tegas. Padahal, kata Rudi, ada pelanggaran hukum.
“Kami menduga jangan-jangan instansi terkait ikut bermain dalam praktik curang ini, karena seolah ada pembiaran baik oleh pemerintah maupun pun penegak hukum,” tegas dia.
Rudi mengatakan daripada praktik itu terus menerus terjadi, lebih baik pemerintah mengakomodasi saja para penambang ilegal itu melalui Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dengan merevisi aturan yang membatasi lingkup kerja penambangan rakyat sebagaimana Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.
Selama ini penambangan rakyat hanya diberi kewenangan menambang batuan dan pasir.
“Tinggal diperluas saja untuk bisa menambang batu bara, biar kegiatan mereka jangan dianggap ilegal lagi. Daripada membiarkan penambangan (batu bara) ilegal menggunakan RKAB dari perusahaan resmi. Mau dibiarkan sampai kapan?,” sambungnya.
Selama pemerintah tidak memberi ruang itu, maka selama itu pula, kata Rudi, penambang batu bara ilegal terus menjamur bahkan tumbuh subur di Kaltim.
“Suka, tidak suka, mereka cari makan, hidupi anak istri,” cetusnya.
Selama ini, kata Rudi, penertiban penambang ilegal tidak menjawab persoalan. Sebab, satu yang ditangkap, seribu penambang muncul.
Oleh karen itu, Rudi meminta sebaiknya pemerintah memfasilitasi keberadaan para penambang ilegal ini dan menata sesuai aturan agar tidak menimbulkan dampak lingkungan, sosial dan lainnya.
Hal itu selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, juga mengatasi permasalahan kerusakaan lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan penambangan batu bara ilegal. [dtn]