Kaltim Tak Masuk WPR dari 19 Provinsi yang Ditetapkan Kementerian ESDM

Aktivitas tambang batu bara ilegal yang bersisian dengan kebun penelitian milik Universitas Mulawarman di Desa Karang Tunggal, Kecamatan Tenggarong Sebrang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Katim, awal Oktober 2021.(Istimewa)

JAKARTA – Plt. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Suswantono mengatakan bahwa pemerintah telah menetapkan sebanyak 1.215 Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) secara nasional. Hal tersebut mengemuka ketika Rapat Dengar Pendapat antara Ditjen Minerba dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Selasa lalu (26/3/2024).

“Secara nasional, WPR yang telah ditetapkan sebanyak 1.215 WPR, dengan total luas wilayah seluas 66.593,18 hektar,” tuturnya.

Bambang menyebut, Surat Keputusan tentang wilayah pertambangan per provinsi telah diteken oleh Menteri ESDM pada 21 April 2022 lalu. Dimana tercatat ada 19 provinsi yang memiliki WPR dengan jumlah blok dan luas yang beragam, yaitu Banten (1 WPR) dengan luas 9,71 hektar; Bangka Belitung (123 WPR) 8.568,35 hektar; Yogyakarta (138 WPR) 5.600,05 hektar; Gorontalo (63 WPR) 5.502,42 hektar; Jambi (117 WPR) 7.030,46 hektar; Jawa Barat (73 WPR) 1.867,22 hektar; Jawa Timur (322 WPR) 6.937,78 hektar; Kalimantan Barat (199 WPR) 11.848 hektar; Kepulauan Riau (4 WPR) 127,04 hektar; Maluku (2 WPR) 95,21 hektar; Maluku Utara (22 WPR) 315,9 hektar; Nusa Tenggara Barat (60 WPR) 1.469,84 hektar; Papua (25 WPR) 2.459,16 hektar; Papua Barat (1 WPR) 3.746,21; Riau (34 WPR) 9.216,96 hektar; Sulawesi Tengah (18 WPR) 1.407,58 hektar; Sulawesi Utara (1 WPR) 30,86 hektar; Sulawesi barat (3 WPR) 24,91 hektar; dan Sulawesi Utara (9 WPR) 335,5 hektar.

Lebih lanjut, Bambang mengatakan bahwa sejak tahun 2022 hingga 2023, Ditjen Minerba juga telah menyusun pengelolaan WPR yang telah diusulkan dengan jumlah blok WPR sebanyak 270.

“Tindak lanjut yang dilakukan pada tahun 2024 ini adalah kami akan melakukan percepatan penetapan dokumen pengelolaan WPR 6 provinsi yang disusun pada tahun 2023 melalui Kepmen ESDM, enam provinsi tersebut di antaranya Jambi, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Riau, Maluku, dan Sulawesi Tengah,” imbuhnya.

Selain WPR, Bambang juga mengungkapkan bahwa terkait Izin Pertambangan Rakyat (IPR), pemerintah telah menerbitkan sebanyak 82 IPR dengan total luas mencapai 62,31 hektar. Adapun permohonan IPR tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2021, dan pada awal tahun ini perizinan IPR sudah bisa dilakukan melalui Sistem Online Single Submission (OSS).

“Berdasarkan surat edaran dari Kementerian Investasi BKPM Nomor 428/B.1/A.8/2023 tanggal 21 Desember 2023, bahwa pelaksanaan pelayanan perizinan IPR sudah tersedia di OSS dan dapat dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari 2024,” tandasnya.

APPRI Sesalkan 

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pertambangan Rakyat Indonesia (APPRI), Rudi Prianto menyayangkan hal tersebut.

“Di Kaltim banyak sekali pertambangan yang dikelola secara langsung oleh masyarakat lokal dan harusnya masuk dalam WPR,” ungkap Rudi.

Rudi menjelaskan, rata-rata masyarakat lokal di sana menambang batu bara. Tapi, Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tidak mengizinkan pertambangan rakyat [Izin Pertambangan Rakyat] menambang batu bara, maka kegiatan mereka dianggap ilegal.

Karena dianggap ilegal, berkali-kali para penambang ini ditertibkan penegak hukum. Namun, kegiatan penambangan ilegal tetap saja muncul.

“Namanya orang cari makan, ya enggak bakal selesai pertambangan ilegal ini. Dari sini pemerintah meskinya mengevaluasi, upaya penertiban bukan solusi,” tegas Rudi.

Saran APPRI

Rudi mengatakan cara terbaik yakni mengakomodir pertambangan ini melalui pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang diperluas lingkupnya hingga ke sektor batu bara.

Namun dalam pelaksanaannya, pemerintah melalui asosiasi melakukan pengawasan agar pengelolaan bisa dilakukan secara baik.

Rudi menilai hal tersebut penting dilakukan, karena melalui IPR pengusaha lokal mendapat akses untuk berusaha mengelola sumber daya alamnya secara mandiri.

Rudi yakin cara ini bisa memberi angin segar bagi pengusaha lokal yang selama ini nyaris tak punya ruang untuk berusaha di wilayahnya. Semua sektor usaha pertambangan didominasi oleh pengusaha luar dan asing.

“Selama ini pengusaha kecil ini terabaikan, mengingat Kementerian masih fokus melayani penambang besar yang memiliki kemampuan modal besar, mudah mengurus perizinan dengan melobi pemerintah pusat,” terang Rudi.

Sementara, pengusaha lokal dengan segala keterbatasannya tak bisa berbuat banyak hal. Akibatnya, jadi penonton karena tak mendapat tempat berusaha di tanahnya sendiri. [*]

Print Friendly, PDF & Email