Samarinda — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda bersama organisasi profesi jurnalis dan lembaga bantuan hukum, yaitu IJTI Kaltim, PWI Kaltim, dan LBH Samarinda merilis hasil survei Posko Aduan THR 2025. Dari hasil survei itu menunjukkan masih lemahnya komitmen sejumlah perusahaan media dalam memenuhi hak normatif pekerja, khususnya terkait pemberian Tunjangan Hari Raya (THR).
Survei tersebut dilakukan dari Maret–April 2025 ini mencatat 9 responden yang berasal dari Samarinda dan Kutai Kartanegara, terdiri dari jurnalis tetap dan kontrak dengan masa kerja antara 3 bulan hingga lebih dari 5 tahun. Survei ini dilakukan secara daring dan bersifat sukarela.
“Meski mayoritas responden mengaku menerima THR, masih ada yang tidak mendapatkannya sama sekali, tanpa kompensasi dan tanpa kejelasan. Ini mencerminkan persoalan serius dalam perlindungan hak-hak dasar pekerja media,” ujar Hasyim Ilyas, Koordinator Divisi Advokasi AJI Samarinda.
Dari total responden, 2 orang (22%) tidak menerima THR, dan hanya satu dari mereka yang menerima kompensasi dalam bentuk bonus yang tidak dijelaskan rinciannya. Sementara itu, 3 responden menyatakan perusahaan tempat mereka bekerja tidak memberikan komunikasi apapun terkait THR.
Selain itu, hanya 4 orang yang yakin THR mereka sesuai ketentuan pemerintah. Tiga lainnya tidak mengetahui aturannya, menunjukkan masih rendahnya pemahaman terhadap hak normatif di kalangan pekerja media.
Hasyim menambahkan bahwa minimnya transparansi dari perusahaan, terutama dalam hal pengumuman dan penjelasan pemberian THR, menjadi catatan penting.
“Ketertutupan dan diskriminasi terhadap pekerja kontrak juga masih terjadi. Pemberian THR seharusnya tidak memandang status kerja, karena semua pekerja berhak diperlakukan setara,” tegasnya.
Pekerja media, kata dia, adalah tulang punggung demokrasi. Jika hak dasarnya saja diabaikan, maka kualitas kerja jurnalistik pun akan terdampak.
“Kesejahteraan jurnalis bukan hanya soal upah, tapi soal keadilan,” tegas.
Sementara itu, Ketua PWI Kaltim, Rahman menekankan bahwa situasi ini menunjukkan urgensi pembenahan struktur kerja di sektor media.
“Jurnalis adalah pekerja. Mereka berhak atas perlakuan adil, termasuk THR, upah layak, dan jaminan sosial. Masalah THR ini bukan isu musiman, tapi cermin dari ketimpangan yang sistemik di ruang redaksi,” kata Rahman.
Dia juga menyoroti pentingnya peran organisasi profesi dan serikat pekerja dalam mendorong perubahan struktural. “Kita harus mendorong solidaritas antarsesama jurnalis untuk saling menguatkan dan mengadvokasi hak-hak dasar yang sering kali diabaikan,” tambahnya.
Priyo Puji, Ketua IJTI Kaltim, menilai persoalan ini mencerminkan kondisi kesejahteraan jurnalis yang masih jauh dari kata layak.
“Kita tidak bisa terus membiarkan pekerja media diperlakukan semena-mena. THR adalah hak, bukan kemurahan hati. Masalah ini bukan hanya soal perusahaan nakal, tapi juga lemahnya pengawasan dan keberpihakan negara terhadap jurnalis sebagai pekerja,” kata Priyo.
Sementara itu, Fathul Huda, Direktur LBH Samarinda, menyoroti aspek hukum dan perlindungan terhadap pekerja media.
“Ketidakjelasan status kerja, ketiadaan kontrak, dan pelanggaran hak normatif seperti ini sangat rentan terjadi jika tidak ada pengawasan. Negara harus hadir. Jika tidak, LBH siap memberi pendampingan hukum kepada jurnalis yang haknya dilanggar,” pungkasnya. (*)
Tuntutan dan Rekomendasi:
• Perusahaan media untuk mematuhi ketentuan pemerintah soal THR, memberikan informasi secara terbuka, dan tidak mendiskriminasi pekerja berdasarkan status kerja.
• Pemerintah daerah dan pusat agar melakukan pengawasan aktif serta menjatuhkan sanksi kepada perusahaan media yang melanggar aturan.
• Serikat pekerja dan organisasi profesi jurnalis, termasuk AJI, untuk memperkuat advokasi dan pendampingan terhadap pelanggaran hak normatif jurnalis.
• Pekerja media untuk bersatu menyuarakan pelanggaran hak dan mengorganisir diri agar tidak menghadapi persoalan ini secara individual. [*]